KOMUNIKASI MASSA SEBAGAI KONSTRUKSI SOSIAL
1.1 Pendahuluan
Seringkali muncul pertanyaan:
Apakah definisi komunikasi massa? Apakah facebook yang sedang membahana termasuk sebagai komunikasi massa?”
Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!
Menurut pemahaman kita selama ini, beberapa komunikasi yang dilakukan melalui media biasanya akan kita analogikan dengan komunikasi massa. Seperti misalnya, public speaking atau orasi, facebook, mailist dan lain sebagainya. Tetapi apakah benar demikian?
1.2 Definisi Komunikasi Massa
Beberapa ahli menyampaikan definisi komunikasi massa sebagai berikut;
a. A. Proses penyampaian informasi dari komunikator melalui media massa dengan segmentasi komunikate/ audience yang luas (publik) pada kesempatan yang sama (Burgon & Huffner, 2002).
b. B. Proses penyampaian informasi dari komunikator melalui interaksi melalui media dengan heterogenitas audience dengan jangkauan waktu dan tempat yg variatif (Susanto, 1985). Heterogen dalam hal ini bermakna variatif dalam latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan.
Dengan definisi tersebut maka implikasinya terdapat terminology kata antara kata “massa” dan “komunikasi” dalam komunikasi massa adalah;
A. Massa: bersifat plural (jamak) dan tidak selalu merujuk kepada jumlah audience. Plural inilah yang disebut sebagai heterogenitas dalam latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Selain itu, jika komunikasi menggunakan media maka massa atau audiencenya bersifat pasif, yaitu hanya terjadi proses komunikasi satu arah (one way communication).
B. Komunikasi: yaitu transmisi informasi yang bersifat searah sehingga umpan balik (feedback) tidak bisa secara langsung karena melalui media searah.
1.3 Karakteristik Komunikasi Massa
Menurut Susanto (1985), komunikasi massa mempunyai karakteristik sebagai berikut;
a. A. Meliputi metode teknis dan institusional dalam produksi & distribusi. Hal ini bermaksud bahwa media komunikasi massa yang digunakan menggunakan metode teknis dalam suatu lembaga resmi, misalnya stasiun radio dan televise resmi.
b. B. Distribusi informasi yang variatif (by media). Hal ini bermaksud bahwa media komunikasi massa bisa menggunakan media elektronika maupun non-elektronika.
c. C. Jangkauan dalam waktu dan tempat yang variatif. Hal ini bermaksud bahwa media komunikasi massa dapat diakses pada waktu dan tempat yang berbeda. Misalnya siaran langsung dari USA yang dapat diakses di Indonesia meski waktu berbeda. Atau informasi dalam suatu laman yang dapat diakses dalam waktu dan tempat yang variatif dengan kandungan yang sama.
d. D. Memodifikasi bentuk simbol (advertising & broadcasting). Salah satu metode teknis dalam penyampaian informasi melalui media massa ialah memodifikasi bentuk simbol (bahasa) sehingga memunculkan teknik periklanan dan penyiaran.
e. E. Heterogenitas audience (publik), yaitu variatif dalam latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan.
1.4 Efektivitas Komunikasi Massa
Komunikasi massa yang efektif idealnya memperhatikan hal berikut;
1. Feedback. Meskipun umpan balik komunikasi massa tidak bersifat langsung dan berlaku satu arah namun komunikator perlu memperhatikan umpan balik yang diberikan oleh public.
2. Efek emosi. Perlu adanya efek emosi, baik emosi positif (senang, bahagia, terhibur) maupun emosi negatif (marah, jengkel, sedih) sehingga komunikasi massa ini efektif untuk tertanam dalam hati dan ingatan public.
3. Pesan moral. Tentunya komunikasi massa perlu adanya pesan moral yang mengajak kepada kebaikan sehingga hal-hal positif dapat ditumbuhkembangkan dengan baik melalui komunikasi massa.
4. Etika, yaitu kandungan komunikasi massa tidak menyinggung atau menyudutkan pihak lain sehingga etika komunikasi massa perlu ditegakkan.
1.5 Excellent With Morality
Jika kita telah memahami tentang komunikasi massa, kepentingan dan etikanya maka kita perlu melakukan komunikasi asertif dan bukan agresif. Artinya komunikasi yang tidak menyinggung atau menyudutkan pihak lain, hanya untuk kepentingan pribadi.
Rujukan :
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
Susanto, Astrid. 1985. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung: Bina Cipta
Susanto, Astrid. 1986. Filsafat Komunikasi. Bandung: Bina Cipta
TEKNOLOGI DAN MEDIA KOMUNIKASI:
DAMPAK PSIKOLOGIS ADANYA HI-TECH COMMUNICATION
1.1 Pendahuluan
Seiring dengan kemajuan zaman dan perkembangan teknologi, tak dapat dinafikkan bahwa media komunikasi berteknologi saat ini sangat berkembang dengan pesat. Mungkin perkembangan teknologi komunikasi ini akan lebih cepat daripada perkembangan teknologi transportasi. Sebagai suatu misal, perkembangan HP akan lebih cepat daripada perkembangan mobil dan lain sebagainya. Ini yang menunjukkan bahwa teknologi komunikasi yang diidentikkan perkembangan artificial intelligence (representasi kecerdasan manusia) akan berkembang lebih cepat. “Ada berapa jenis media komunikasi berteknologi yang Anda ketahui?”
Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!Kalau benar-benar kita fikirkan, kemampuan komunikasi ini adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Akan tetapi kenapa kita harus membayar hanya untuk berkomunikasi dengan orang lain dengan media berteknologi? Sebenarnya bukan kemampuan komunikasi yang dibisnikan karena itu adalah anugerah dari Tuhan namun teknologi inilah yang dibisniskan. Orang akan berani membayar mahal dengan media komunikasi yang jauh lebih hi-tech. Buktinya sekarang ini blackberry dan i-Phone akan lebih mahal daripada HP biasa yang jadul.
1.2 Definisi Media Komunikasi dan Fungsinya
Secara sederhananya, media komunikasi ialah perantara dalam penyampaian informasi dari komunikator kepada komunikate yang bertujuan untuk efisiensi penyebaran informasi atau pesan tersebut. Sedangkan fungsi media komunikasi yang berteknologi tinggi ialah sebagai berikut (Burgon & Huffner, 2002);
a. Efisiensi penyebaran informasi; dengan adanya media komunikasi terlebih yang hi-tech akan lebih membuat penyebaran informasi menjadi efisien. Efisiensi yang dimaksudkan di sini ialah penghematan dalam biaya, tenaga, pemikiran dan waktu. Misalnya, kita memberikan ucapan selamat hari raya Idul Fitri atau Natal cukup melalui SMS, MMS, e-mail, mailist dan media canggih lainnya. Hal ini lebih disukai karena nilai praktisnya jika dibandingkan dengan mengirimkan kartu lebaran atau kartu Natal dengan waktu yang lebih lama. Namun apakah cukup efektif?
b. Memperkuat eksistensi informasi; dengan adanya media komunikasi yang hi-tech, kita dapat membuat informasi atau pesan lebih kuat berkesan terhadap audience/ komunikate. Suatu contoh, dosen yang mengajar dengan multimedia akan lebih efektif berkesan daripada dosen yang mengajar secara konvensional.
c. Mendidik/ mengarahkan/ persuasi; media komunikasi yang berteknologi tinggi dapat lebih menarik audience. Sebagaimana kita pelajari pada bab sebelumnya tentang komunikasi persuasi maka hal yang menarik tentunya mempermudah komunikator dalam mempersuasi, mendidik dan mengarahkan karena adanya efek emosi positif.
d. Menghibur/ entertain/ joyfull; media komunikasi berteknologi tinggi tentunya lebih menyenangkan (bagi yang familiar) dan dapat memberikan hiburan tersendiri bagi audience. Bahkan jika komunikasi itu bersifat hi-tech maka nilai jualnya pun akan semakin tinggi. Misalnya, presentasi seorang marketing akan lebih mempunyai nilai jual yang tinggi jika menggunakan media komunikasi hi-tech daripada presentasi yang hanya sekedar menggunakan metode konvensional.
e. Kontrol sosial; media komunikasi yang berteknologi tinggi akan lebih mempunyai fungsi pengawasan terhadap kebijakan sosial. Seperti misalnya, informasi yang disampaikan melalui TV dan internet akan lebih mempunyai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah sehingga pemerintah menjadi cepat tanggap terhadap dampak kebijakan tersebut. Masih ingat kasus facebookers pendukung Bibit & Chandra?
1.3 Kelebihan Hi-Tech Communication
Sebagai upaya kemajuan teknologi yang fungsi utamanya membantu kehidupan manusia maka hi-tech communication mempunyai kelebihan sebagai berikut;
a. Pencapaian penyebaran informasi yang efisien. Semakin canggih media komunikasi yang kita punyai maka informasi akan lebih efisien dalam penyebarannya. Efisien dalam hal waktu, utamanya. Namun waktu yang efisien ini juga akan berimbas juga kepada tenaga, pemikiran dan biaya tentunya.
b. Daya tarik. Dengan media komunikasi yang berteknologi tinggi maka keingintahuan (need of curiousity) audience akan semakin besar sehingga daya tarik proses komunikasi akan semakin besar pula.
c. Upaya pencapaian efektivitas komunikasi; jika daya tarik semakin besar maka upaya untuk mencapai komunikasi yang efektif juga dapat tercapai.
d. Daya jual informasi semakin tinggi
e. Trend, penghargaan sosial dan harga diri. Orang yang mengikuti perkembangan media komunikasi hi-tech akan dikenali sebagai orang yang mengikuti trend. Anggapan sosial inilah yang membuat orang merasa mendapat penghargaan sosial bahwa ia adalah orang yang mengikuti trend. Kemudian penghargaan sosial inilah yang mendorong manusia untuk mencapai harga diri yang semakin tinggi.
1.4 Dampak Psikologis Hi-Tech Communication yang Membahana
Selain adanya kelebihan pada hi-tech communication yang telah disinggung pada bagian sebelumnya maka sebenarnya terdapat beberapa dampak psikologis, antaranya;
1. Individual space meningkat, yaitu meningkatnya ruang invidual karena telah memperoleh informasi melalui media komunikasi yang canggih, misalnya internet. Orang akan lebih menyukai duduk di depan computer yang berinternet daripada bersosialisasi dengan orang lain di dunia nyata. Dengan demikian, social space akan menyempit dan digusur denganindividual space tersebut.
2. Kecemasan sosial terhadap suatu fenomena meningkat. Dengan adanya media komunikasi yang berteknologi tinggi maka informasi akan lebih cepat menyebar. Contohnya, informasi mengenai wabah flu burung. Sebelum adanya informasi tersebut, orang tidak takut mengkonsumsi unggas. Namun setelah adanya informasi yang menyebar dengan cepat mengenai flu burung maka kecemasan sosial terjadi, yaitu orang merasa takut untuk mengkonsumsi unggas. Begitu juga fenomena tsunami di Aceh, sehingga setiap kali gempa di beberapa daerah, orang akan mencari informasi tentang kemungkinan tsunami. Inilah yang menjadi contoh adanya kepanikan sosial (social anxiety) karena media komunikasi berteknologi tinggi yang membahana.
3. Kebutuhan komersial masyarakat meningkat; sebagaimana kita ketahui sebelumnya bahwa media komunikasi yang hi-techakan mempengaruhi minat audience dan mempersuasi audience. Oleh karena itu, hal ini digunakan oleh perusahaan jasa komunikasi dan perusahaan komersial untuk memanfaatkan sifat konsumerisme masyarakat ini.
4. Kriminalitas meningkat; jika kita melihat tayangan di TV mengenai informasi atau film tentang kriminalitas dengan modus yang canggih maka ini sebenarnya merupakan inspirasi bagi pelaku kejahatan lainnya. Proses meniru tayangan kriminalitas ini yang dikenali sebagai modeling perilaku kejahatan. Apalagi kalau kita mencermati modus operandi kejahatan di dunia maya (internet) yang sedang marak maka seolah-olah mudah sekali melakukan kejahatan yang dibantu dengan media komunikasi berteknologi tinggi. Masih ingat kasus penipuan melalui e-mail, HP dan chatting?
5. Pemenuhan rasa ingin tahu (need of curiousity); sudah menjadi kodrat manusia diciptakan dengan kekuatan pemikiran yang luar biasa. Pemikiran ini yang dirangsang dengan rasa ingin tahu atau penasaran yang besar. Dengan media komunikasi yang berteknologi tinggi, terjawablah rasa penasaran manusia tentang apapun itu. Semua bisa kita cari di internet dengan menggunakan kata kunci tertentu. Mudah kan?
6. Tehnologi dapat mengurangi kreativitas; teknologi yang menjadi alat bantu manusia menjanjikan sejuta efisiensi. Oleh karena itu, manusia akan menjadi malas karena kemajuan teknologi tersebut. Sebagai misal, aktivitas copy-paste di mahasiswa akan menjadi budaya plagiat di kemudian hari. Pada akhirnya kreativitas seseorang dapat menurun jika ia tak pandai memanfaatkan teknologi untuk pengembangan dirinya.
1.5 Excellent With Morality
Jika kita telah mengetahui dampak positif dan negatif hi-tech communication maka semua tergantung orangnya sendiri (the man who behind the gun). Oleh karena itu,“Baik-buruknya suatu teknologi tergantung dari manusia yang memanfaatkannya”
Rujukan :
Brehm & Kassin. 1996. Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
PENDEKATAN TINDAKAN KOMUNIKASI PERSUASI
1.1 Pendahuluan
Pada dasarnya komunikasi persuasi ialah kemampuan komunikasi yang dapat membujuk atau mengarahkan orang lain. Pada bab ini, pertanyaan untuk merangsang proses berpikir kita ialah:“Manakah yang lebih mudah: membujuk diri sendiri atau membujuk orang lain?”Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!
Sebelum dijawab, perlu kita ketahui bahwa ada 3 jenis pola komunikasi (Burgon & Huffner, 2002), yaitu:
a. Komunikasi asertif, yaitu kemampuan komunikasi yang mampu menyampaikan pendapat secara lugas kepada orang lain (komunikate) namun tidak melukai atau menyinggung secara verbal maupun non verbal (tidak ada agresi verbal dan non verbal).
b. Komunikasi pasif, yaitu pola komunikasi yang tidak mempunyai umpan balik yang maksimal sehingga proses komunikasi seringkali tidak efektif.
c. Komunikasi agresif, yaitu pola komunikasi yang mengutarakan pendapat/ informasi atau pesan secara lugas namun terdapat agresi verbal maupun non verbal.
1.2 Definisi Komunikasi Persuasi
Burgon & Huffner (2002) meringkas beberapa pendapat dari beberapa ahli mengenai definisi komunikasi persuasi sebagai berikut;
• Proses komunikasi yang bertujuan mempengaruhi pemikiran dan pendapat orang lain agar menyesuaikan pendapat dan keinginan komunikator.
• Proses komunikasi yang mengajak atau membujuk orang lain dengan tujuan mengubah sikap, keyakinan dan pendapat sesuai keinginan komunikator. Pada definisi ini ‘ajakan’ atau ‘bujukan’ adalah tanpa unsur ancaman/ paksaan.
Bila kita merujuk kepada definisi komunikasi persuasi tersebut maka komunikasi persuasi tentunya tanpa aspek agresi. Oleh karena itu, komunikasi persuasi termasuk dalam pola komunikasi yang asertif. Terkadang kita lebih suka melakukan agresi kepada diri kita sendiri (baca: mendholimi diri sendiri). Contoh: belajar dengan SKS (Sistem Kebut Semalam), menunda makan, merokok, maniak games dan lain sebagainya. Tetapi mungkin dengan orang lain, kita lebih mampu menyayanginya, misalnya rela mati untuk orang yang kita kasihi. Berdasarkan analog semacam itu maka komunikasi persuasi kepada diri kita sendiri akan lebih sulit daripada persuasi kepada orang lain. Kenapa? Ya, karena kita lebih senang menganiaya diri sendiri sehingga sulit untuk mempersuasi diri sendiri. Bukankah persuasi bukan paksaan, bukan ancaman dan bukan pula dengan kekerasan (agresi).
1.3 Komponen Komunikasi Persuasi
Dalam komunikasi persuasi terdapat komponen atau elemen sehingga dapat disebut sebagai komunikasi persuasi. Komponen tersebut antaranya;
a. Claim, yaitu pernyataan tujuan persuasi baik yang tersurat (eksplisit) maupun tersirat (implisit). Misalnya, iklan pada umumnya menyatakan dengan lugas ajakannya untuk membeli suatu produk atau jasa tertentu. Namun ada yang implisit misalnya, iklan rokok yang tidak pernah menyatakan terang-terangan untuk mengajak audience-nya merokok. Mereka akan mengidentikkan dengan suatu fenomena menarik dan mudah diingat. Oleh karena itu, biasanya iklan rokok akan tampil kreatif karena larangan menampilkan secara terbuka ajakan untuk merokok.
b. Warrant, yaitu perintah yang dibungkus dengan ajakan atau bujukan sehingga terkesan tidak memaksa. Misalnya iklan yang diikuti dengan kata “ayo”, “mari” dan lain sebagainya.
c. Data, yaitu data-data atau fakta yang digunakan untuk memperkuat argumentasi keunggulan pesan dari komunikator. Contoh, iklan pembalut wanita yang menyatakan data “7 dari 10 wanita Indonesia menggunakan pembalut wanita XXX”. Jumlah tersebut merupakan data yang digunakan untuk memperkuat alasan menggunakan produk atau jasa. Ataupun iklan yang menampilkan foto “sebelum” dan “sesudah”. Inilah fungsi data argumentatif.
1.4 Pendekatan Dasar Komunikasi Persuasi
Aristotle menyatakan ada 3 pendekatan dasar dalam komunikasi yang mampu mempengaruhi orang lain, yaitu;
• Logical argument (logos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan argumentasi data-data yang ditemukan. Hal ini telah disinggung dalam komponen data.
• Psychological/ emotional argument (pathos), yaitu penyampaian ajakan menggunakan efek emosi positif maupun negatif. Misalnya, iklan yang menyenangkan, lucu dan membuat kita berempati termasuk menggunakan pendekatan psychological argument dengan efek emosi yang positif. Sedangkan iklan yang menjemukan, memuakkan bahkan membuat kita marah termasuk pendekatan psychological argument dengan efek emosi negatif.
• Argument based on credibility (ethos), yaitu ajakan atau arahan yang dituruti oleh komunikate/ audience karena komunikator mempunyai kredibilitas sebagai pakar dalam bidangnya. Contoh, kita menuruti nasehat medis dari dokter, kita mematuhi ajakan dari seorang pemuka agama, kita menelan mentah-mentah begitu saja kuliah dari dosen. Hal ini semata-mata karena kita mempercayai kepakaran seseorang dalam bidangnya.
1.5 Pendekatan Komunikasi Persuasi yang Efektif
Menurut Burgon & Huffner (2002), terdapat beberapa pendekatan yang dapat dilakukan agar komunikasi persuasi menjadi lebih efektif. Maksudnya lebih efektif yaitu agar lebih berkesan dalam mempengaruhi orang lain. Beberapa pendekatan itu antaranya;
1. Pendekatan berdasarkan bukti, yaitu mengungkapkan data atau fakta yang terjadi sebaga bukti argumentatif agar berkesan lebih kuat terhadap ajakan.
2. Pendekatan berdasarkan ketakutan, yaitu menggunakan fenomena yang menakutkan bagi audience atau komunikate dengan tujuan mengajak mereka menuruti pesan yang diberikan komunikator. Misalnya, bila terjadi kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah maka pemerintah dengan pendekatan ketakutan dapat mempersuasi masyarakat untuk mencegah DBD.
3. Pendekatan berdasarkan humor, yaitu menggunakan humor atau fantasi yang bersifat lucu dengan tujuan memudahkan masyarakat mengingat pesan karena mempunyai efek emosi yang positif. Contoh, iklan-iklan yang menggunakan bintang comedian atau menggunakan humor yang melekat di hati masyarakat.
4. Pendekatan berdasarkan diksi, yaitu menggunakan pilihan kata yang mudah diingat (memorable) oleh audience/ komunikate dengan tujuan membuat efek emosi positif atau negative. Misalnya, iklan rokok dengan diksi “nggak ada loe nggak rame…”.
Namun keempat pendekatan tersebut dapat dikombinasikan sesuai dengan tujuan persuasi dari komunikator. Misalnya pendekatan berdasarkan humor dikombinasikan dengan pendekatan berdasarkan diksi. Ataupun pendekatan berdasarkan ketakutan dikombinasikan dengan pendekatan berdasarkan bukti.
1.6 Pengubahan Sikap Melalui Komunikasi Persuasi
Komunikasi persuasi mempunyai tujuan utama untuk mengubah sikap komunikate. Oleh karena itu, komunikasi persuasi dikatakan efektif jika mampu mengubah sikap bahkan memodifikasi perilaku komunikate/ audience. Menurut Brehm & Kassin (1996), terdapat dua jalur penting dalam pengubahan sikap, yaitu;
a. Central route, yaitu kuatnya argument yang disampaikan secara langsung melalui komunikasi persuasi.
b. Pheriperal route, yaitu argument yang disampaikan melalui media komunikasi persuasi (biasanya dengan simbol-simbol atau bahasa non verbal tertentu). Misalnya, kita menjadi taat dengan polisi yang berseragam dan lain sebagainya.
Adapun aspek persuasi meliputi;
1. Sumber pesan, yaitu atribut-atribut yang melekat kepada komunikator antaranya ialah fisik yang menarik dan atau mempunyai kesamaan atribut sosial dengan komunikate/ audience.
2. Pesan, yaitu pesan yang menarik dengan beberapa indikator mempunyai argumentasi data, bukti atau fakta yang kuat; intensitas waktu yang tepat; singkat padat sehingga mudah diingat (memorable); mempunyai efek emosi baik positif maupun negatif.
3. Audience. Disebut audience karena dalam jumlah komunikate yang banyak (plural). Audience yang mudah dipengaruhi ialah yang berkeadaan sangat membutuhkan informasi dengan bukti yang kuat dan sedang mengalami konflik dilematis karena bingung memilih suatu produk/ jasa. Misalnya, seorang remaja yang sedang mengalami kebingungan karena memilih produk obat jerawat.
1.7 Sumber Efektivitas Komunikator
Seorang komunikator dikatakan efektif dapat mempengaruhi orang lain jika (Burgon & Huffner, 2002);
• A clear understanding of his/her own purpose, komunikator mampu memahami tujuan atau target komunikasi persuasi dengan jelas.
• A mastery of his/her subject matter, komunikator menguasai bahan atau materi yang akan disampaikan.
• Analysis of his own audience, komunikator harus mampu mengenalis dan menganalisis kondisi psiko-demografis audience.
1.8 Indikator Efektivitas Persuasi
Menurut Rousydiy (1985) terdapat beberapa indikator efektivitas persuasi dari sudut pandang audience, yaitu;
1. Audiens mempunyai pemikiran yang sama dengan komunikator
2. Audiens berempati dengan komunikator
3. Audiens mengubah sikap
4. Audiens melakukan internalisasi dan mempertahankan nilai-nilai yang dipersuasikan oleh komunikator
1.9 Excellent with Morality
Jika kita telah mengetahui mengenai komunikasi persuasi sangat ampuh untuk mempengaruhi sikap orang lain maka perlu kita terapkan dengan nilai;“Ajaklah pada kebajikan dan cegahlah kemungkaran”
Rujukan :
Brehm & Kassin. 1996. Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
KOMUNIKASI INTERPERSONAL; SEBUAH FENOMENA PERLUASAN
1.1 Pendahuluan
Dalam bab I, kita telah membahas mengenai jenis komunikasi, yaitu (Burgon & Huffner, 2002):
a. Komunikasi intrapersonal; komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri maka tindak balas yang dilakukan ialah dalam internal diri sendiri. Contoh, komunikasi yang terjadi saat kita merenung, berdialog dengan diri sendiri (baik sadar maupun secara tidak sadar, misalnya sedang tidur).
b. Komunikasi interpersonal; komunikasi yang dilakukan dengan orang lain sehingga tindak balas dan evaluasinya memerlukan orang lain. Contoh, komunikasi dengan pacar, teman, dosen, orang tua dan lain sebagainya.
c. Komunikasi massa; komunikasi yang dilakukan dalam kumpulan manusia yang terjadi proses sosial di dalamnya, baik melalui media atau langsung dan bersifat one way communication. Contoh, komunikasi yang terjadi di televisi, web-site, blog, iklan dan lain sebagainya.
Pada bab ini, pertanyaan untuk merangsang proses berpikir kita ialah:
“Bilamana kita melakukan komunikasi intrapersonal?”
Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!
Menjawab pertanyaan tersebut, sebaiknya kita merujuk beberapa hal sebagai berikut;
a. Manusia hidup pasti membutuhkan hidup membutuhkan komunikasi baik dengan diri sendiri (intrapersonal) maupun dengan orang lain (interpersonal).
b. Komunikasi intrapersonal terjadi pada pra-sesaat-pasca komunikasi interpersonal. Oleh karena itu, komunikasi intrapersonal selalu mengiringi komunikasi interpersonal.
c. Komunikasi intrapersonal bertujuan untuk melakukan prediksi, evaluasi dan penguatan/ pelemahan. Sebagai contoh, pada saat kita berkomunikasi dengan orang lain, timbul perbincangan dengan diri kita untuk prediksi bagaimana rasanya berkomunikasi dengan orang itu, akan nyamankah berbincang dengannya? Sewaktu dan setelah berbincang dengan orang itu, kita kembali akan mengevaluasi bagaimana proses perbincangan tadi, nyamankah berbincang dengannya. Jika kita merasa nyaman dalam berkomunikasi dengan orang lain (komunikasi interpersonal) maka prediksinya kita akan mengulang kembali berkomunikasi dengannya. Inilah yang disebut sebagai proses penguatan. Namun akan terjadi proses pelemahan jika terjadi evaluasi negatif terhadap proses komunikasi dengan orang tersebut.
1.2 Sistem Komunikasi Intrapersonal
Maha bijaksana Tuhan yang telah mengatur proses komunikasi intrapersonal yang melibatkan beberapa unsur atau elemen sebagai berikut (Burgon & Huffner, 2002);
a. Sensasi, yaitu proses menangkap stimulus (pesan/informasi verbal maupun non verbal). Pada saat berada pada proses sensasi ini maka panca indera manusia sangat dibutuhkan, khususnya mata dan telinga.
b. Persepsi, yaitu proses memberikan makna terhadap informasi yang ditangkap oleh sensasi. Pemberian makna ini melibatkan unsur subyektif. Contohnya, evaluasi komunikan terhadap proses komunikasi, nyaman tidakkah proses komunikasi dengan orang tersebut?
c. Memori, yaitu proses penyimpanan informasi dan evaluasinya dalam kognitif individu. Kemudian informasi dan evaluasi komunikasi tersebut akan dikeluarkan atau diingat kembali pada suatu saat, baik sadar maupun tidak sadar. Proses pengingatan kembali ini yang disebut sebagai recalling.
d. Berpikir, yaitu proses mengolah dan memanipulasi informasi untuk memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan masalah. Proses ini meliputi pengambilan keputusan, pemecahan masalah dan berfikir kreatif. Setelah mendapatkan evaluasi terhadap proses komunikasi interpersonal maka ada antisipasi terhadap proses komunikasi yang selanjutnya. Contohnya, jika kita merasa tidak nyaman berkomunikasi dengan dosen maka kita mempunyai cara untuk antisipasi agar komunikasi di kemudian hari menjadi lancar.
1.3 Definisi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal ialah komunikasi yang dilakukan kepada pihak lain untuk mendapatkan umpan balik, baik secara langsung (face to face) maupun dengan media. Berdasarkan definisi ini maka terdapat kelompok maya atau faktual (Burgon & Huffner, 2002). Contoh kelompok maya, misalnya komunikasi melalui internet (chatting, face book, email, etc.). Berkembangnya kelompok maya ini karena perkembangan teknologi media komunikasi.
Terdapat definisi lain tentang komunikasi interpersonal, yaitu suatu proses komunikasi yang bersetting pada objek-objek sosial untuk mengetahui pemaknaan suatu stimulus (dalam hal ini: informasi/pesan) (McDavid & Harari).
1.4 Fungsi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal mempunyai komunikasi sebagai berikut;
a. Untuk mendapatkan respon/ umpan balik. Hal ini sebagai salah satu tanda efektivitas proses komunikasi. Bayangkan bagaimana kalau tidak ada umpan balik, saat Anda berkomunikasi dengan orang lain. Bagaimana kalau Anda sms ke orang lain tetapi tidak dibalas?
b. Untuk melakukan antisipasi setelah mengevaluasi respon/ umpan balik. Contohnya, setelah apa yang akan kita lakukan setelah mengetahui lawan bicara kita kurang nyaman diajak berbincang.
c. Untuk melakukan kontrol terhadap lingkungan sosial, yaitu kita dapat melakukan modifikasi perilaku orang lain dengan cara persuasi. Misalnya, iklan yang arahnya membujuk orang lain.
1.5 Peringkat Analisis Komunikasi Interpersonal
Dalam mengevaluasi komunikasi interpersonal, kita memerlukan suatu kemampuan analisis terhadap proses komunikasi tersebut. Analisis tersebut tergantung dari peringkat atau level analisisnya. Beberapa level analisis itu antaranya;
1. Cultural level data, yaitu level analisis yang didasari oleh aturan, norma atau kebiasaan yang menjadi budaya suatu komunitas dalam berkomunikasi, biasanya pada komunikasi non verbal. Contohnya, perbedaan makna “anggukan” dan “gelengan” kepala antara orang Indonesia dengan orang India.
2. Sociological level data, yaitu level analisis yang didasari oleh prediksi keterkaitan antara individu dengan komunitas sosialnya (membership group). Level analisis ini berkaitan antara peringkat individu dengan lingkungan sosialnya. Inilah akomodasi antara proses yang terjadi dalam peringkat individual yang diinternalisasi dalam dirinya selama hidup dengan proses yang terjadi pada peringkat lingkungan sosial yang baru saja mempengaruhi nilai-nilai pada individu. Contohnya, orang Indonesia yang baru saja tiba di luar negeri dan harus menyesuaikan dengan komunikasi di luar negeri maka akan terjadi akomodasi nilai-nilai individu dengan lingkungan barunya (membership group vs reference group).
3. Psychological level data, yaitu level analisis prediksi perilaku spesifik dalam transaksi komunikasi. Misalnya saat individu berbohong maka ia akan melakukan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism). Atau dengan kata lain, ia akan melakukan rasionalisasi agar pesan/ informasinya tetap dipercaya oleh orang lain.
1.6 Derajad Perbandingan Komunikan
Sebagai peserta komunikasi (komunikan) seringkali kita merasakan adanya persamaan dan perbedaan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Persamaan dan perbedaan itulah yang disebut sebagai derajad perbandingan komunikan. Beberapa jenis derajad itu antaranya;
a. Homophily, yaitu derajad interaksi interpersonal yang memiliki kesamaan dalam atribut (sikap, pengalaman, bahasa, intelektual, dsb). Sering berkomunikasi akan mempertinggi homophily. Contoh, orang yang memiliki hobi yang sama akan mempunyai derajad homophily yang tinggi (Rogers).
b. Heterophily, yaitu derajad interaksi interpersonal yang atributnya berbeda. Derajad ini kurang efektif untuk mencapai tujuan komunikasi kecuali keduanya memiliki empati (Rogers & Bhowmik).
Beberapa hal yang mempengaruhi komunikasi interpersonal antara lain;
1. Pengalaman, yaitu berkaitan dengan persepsi dan informasi yang disimpan dalam memori dan digunakan untuk memberikan evaluasi terhadap proses komunikasi interpersonal. Misalnya, pengalaman dalam membaca respon non verbal/ kinestik.
2. Motivasi, yaitu manusia sebagai individu aktif mengatur stimulus apa yang akan direspon mana yang tidak (tergantung motivasi).
3. Kepribadian. Dalam suatu penelitian dinyatakan bahwa individu non otoriter lebih cermat dalam mengevaluasi stimulus daripada individu yang otoriter. Hal ini berkaitan orang yang otoriter biasanya selalu berfokus terhadap dirinya sendiri. Selain itu, orang otoriter cenderung melakukan proyeksi sehingga kurang cermat dalam mengevaluasi stimulus dari orang lain.
1.7 Ketertarikan Kepada Orang Lain (Interpersonal Attraction)
Tentunya dalam menjalin hubungan dengan orang lain, terlebih jika mempunyai derajad homophily yang tinggi maka komunikan akan mempunyai ketertarikan satu sama lain. Ketertarikan terhadap orang lain ini bisa terjadi pada pra-saat-setelah komunikasi interpersonal. Pada saat pra atau sebelum komunikasi interpersonal disebabkan olehmemes yang telah kita bicarakan pada bab sebelum ini. Seseorang bisa tertarik kepada orang lain dalam berkomunikasi karena adanya penghargaan (reward) yang berupa umpan balik positif. Inilah yang disebutkan tadi sebagai proses penguatan. Beberapa faktor yang menyebabkan ketertarikan terhadap orang lain;
1. Faktor karakteristik orang lain; orang tertarik kepada orang lain lebih disebabkan oleh fisik (physical attraction). Selain itu, orang tertarik dan lebih merasa tertantang jika mengalami kesulitan dalam meraih perhatian dari orang lain (hard to get effect).
2. Faktor situasional; orang tertarik kepada orang lain karena biasa bertemu dalam tempat yang dekat (proximity) dan orang tertarik kepada orang lain karena ikatan emosional (familiarity).
Dalam berkomunikasi dengan orang lain maka seringkali ada suatu permasalahan meskipun komunikasi tersebut didasari dengan ketertarikan. Menurut Brehm & Kassin (1996), masalah komunikasi tersebut diantaranya;
a. Negative affect reciprocity, yaitu proses komunikasi yang bermasalah karena salah satu komunikan membangkitkan kesalahan lawan bicaranya pada masa yang harmonis. Misalnya, suami membangkitkan kesalahan isterinya yang dulu pernah berselingkuh. Permasalahan itu dibangkitkan pada masa yang sedang harmonis.
b. Demand/ withdraw interaction, yaitu proses komunikasi yang bertepuk sebelah tangan atau tidak ada kesepakatan dalam proses berkomunikasi.
1.8 Hambatan dalam Komunikasi Interpersonal
Seringkali komunikan tidak saling memahami maksud pesan atau informasi dari lawan bicaranya. Hal ini disebabkan beberapa masalah antara;
a. Komunikator;
Hambatan biologis, misalnya komunikator gagap.
Hambatan psikologis, misalnya komunikator yang gugup.
Hambatan gender, misalnya perempuan tidak bersedia terbuka terhadap lawan bicaranya yang laki-laki.
b. Media;
Hambatan teknis, misalnya masalah pada teknologi komunikasi (microphone, telepon, power point, dan lain sebagainya).
Hambatan geografis, misalnya blank spot pada daerah tertentu sehingga signal HP tidak dapat ditangkap.
Hambatan simbol/ bahasa, yaitu perbedaan bahasa yang digunakan pada komunitas tertentu. Misalnya kata-kata “wis mari” versi orang Jawa Tengah diartikan sebagai sudah sembuh dari sakit sedangkan versi orang Jawa Timur diartikan sudah selesai mengerjakan sesuatu.
Hambatan budaya, yaitu perbedaan budaya yang mempengaruhi proses komunikasi.
c. Komunikate;
Hambatan biologis, misalnya komunikate yang tuli.
Hambatan psikologis, misalnya komunikate yang tidak berkonsentrasi dengan pembicaraan.
Hambatan gender, misalnya seorang perempuan akan tersipu malu jika membicarakan masalah seksual dengan seorang lelaki.
1.9 Keterbukaan Diri
Dalam berkomunikasi interpersonal, tentunya kita memerlukan keterbukaan diri. Menurut Altman & Taylor (1973), keterbukaan diri adalah suatu pertukaran sosial sebagai dasar membangun hubungan. Kemudian Altman & Taylor ini yang melahirkan teori penetrasi sosial sebagaimana yang telah dibahas pada bab sebelumnya.
Berkaitan dengan keterbukaan diri ini, terdapat sebuah penelitian dari Hansen & Schuldt (1984, dalam Brehm & Kassin, 1996) bahwa
1. Kita terbuka dengan apa yang kita suka
2. Kita suka terhadap orang yang mampu membuka diri
3. Kita suka terhadap informasi yang terbuka
Dalam keterbukaan diri, ternyata terdapat beberapa penelitian yang mengacu terhadap perbedaan individu dalam menyampaikan keterbukaan diri. Misalnya;
a. Usia. Semasa kecil manusia mempunyai keterbukaan diri yang lebih tinggi daripada ketika dewasa. Kemudian menginjak usia tua, manusia kembali mempunyai keterbukaan diri yang lebih besar. Contoh, sewaktu kecil kita sering membuka diri kita terhadap apa yang kita lakukan kepada orang tua. Setelah menginjak remaja hingga dewasa, kita kembali menutup diri kepada lingkungan sosial kita. Namun setelah tua, kita kembali membuka informasi tentang diri kita kepada orang lain. Hal ini dapat diasumsikan dengan kurve U.
b. Perbedaan gender. Dindia & Allen (1992, dalam Brehm & Kassin, 1996) mempunyai penelitian dengan hasil sebagai berikut;
Dalam tabel tersebut, kita dapat melihat bahwa;
a. Perempuan membuka diri terhadap sesama perempuan akan lebih bisa terbuka daripada laki-laki membuka diri terhadap perempuan.
b. Perempuan membuka diri terhadap sesama perempuan akan lebih bisa terbuka daripada laki-laki membuka diri terhadap sesama laki-laki.
c. Perempuan membuka diri terhadap laki-laki akan lebih bisa terbuka daripada laki-laki membuka diri terhadap perempuan.
d. Perempuan membuka diri terhadap laki-laki sama-sama bisa terbuka antara laki-laki membuka dirinya terhadap laki-laki.
Namun penelitian-penelitian tersebut dalam setting budaya barat. Belum tentu sama hasilnya jika dilakukan di setting budaya timur, seperti di Indonesia, sebagaimana kita ketahui bahwa budaya dapat mempengaruhi dalam proses komunikasi.
Rujukan :
Altman & Taylor. 1973. Social Relationship. Dlm. Brehm & Kassin. 1996.Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.
Brehm & Kassin. 1996. Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
Dawkin, R. 1976. Theories of Memes. London: Open University.
TEORI PEMBANGUNAN KOMUNIKASI
1.1 Pendahuluan
Sebagaimana kita fahami bahwa komunikasi ialah suatu proses penyampaian pesan atau informasi dari komunikator kepada komunikate yang mempunyai umpan balik (Burgon & Huffner, 2002). Pengertian tersebut menyuratkan bahwa proses komunikasi mempunyai pesan atau informasi yang akan disampaikan. Pengertian informasi ialah fakta atau data tanpa interpretasi dari komunikator sehingga informasi disampaikan apa adanya tanpa evaluasi subjektif dari komunikator. Sedangkan pesan ialah informasi yang sudah diberikan evaluasi secara subjektif oleh komunikator dengan tujuan membujuk atau mengarahkan komunikate untuk mengubah atau mempertahankan sikapnya terhadap suatu fenomena. Secara eksplisit pula dapat kita ketahui bahwa proses komunikasi memerlukan feedback atau umpan balik sebagai tanda bahwa komunikasi dapat berlangsung efektif saat mempunyai umpan balik.
Pada bab ini, pertanyaan untuk merangsang proses berpikir kita ialah:
“Sejak kapan kita dapat berkomunikasi?”
Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!
Jawaban kita hendaknya merujuk kepada pengertian komunikasi sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya bahwa proses komunikasi setidaknya mempunyai beberapa hal berikut;
a. Pesan/ informasi
b. Media
c. Komunikator
d. Komunikate
e. Umpan balik/ feedback
Dengan mengacu hal tersebut ternyata proses komunikasi tidak hanya memfungsikan kita sebagai komunikator secara aktif tetapi juga sebagai komunikate yang dapat menerima pesan atau informasi tersebut. Kalau kita bertindak sebagai komunikate secara pasif tentunya kemampuan komunikasi tersebut sudah dapat kita lakukan pada saat kita masih di dalam kandungan (pre-natal). Tentu saja, jawaban ini dapat kita kuatkan lagi dengan pertanyaan, “Siapa yang memberitahu kita sejak kecil bahwa kita tahu itu ayah atau ibunda kita?”.
Pemahaman kita terhadap identitas orang tua kita bahwa sejak pre-natal kita sudah mempunyai kemampuan komunikasi pasif dalam alam kandungan bahwa itu ayah kita atau itu ibunda kita melalui suara. Inilah kebesaran Tuhan yang harus kita fahami sebagai mahluk yang mempunyai kemampuan berfikir. Berkaitan itu, ada beberapa teori yang harus kita fahami sebagai dasar pembangunan proses komunikasi.
1.2 Teori Penetrasi Sosial
Altman & Taylor (1973) menjelaskan proses terjadinya pembangunan hubungan interpersonal secara bertahap dalam pertukaran sosial. Tahapan itu antaranya;
a. Artificial level, yaitu tahapan memulai hubungan. Bahwa manusia mempunyai kemampuan tertentu untuk memulai hubungan yang pada tahapan ini informasi yang kita dapatkan dari orang lain antara lain, nama, usia, alamat, status dan lain-lain.
b. Intimate level, yaitu tahapan hubungan yang mengarah kepada hubungan yang lebih mendalam sehingga dapat menentukan status hubungan tersebut. Pada level ini kita telah mempunyai informasi yang lebih lengkap, antaranya hobi, hal yang tidak disukai, hal yang ditakuti, kebiasaan dan lain sebagainya.
c. Very intimate level, yaitu tahapan hubungan intim yang sudah lama dan informasi sudah banyak kita dapatkan. Pada tahapan ini biasanya akan terbentuk negosiasi-negosiasi atas informasi yang kita dapatkan, misalnya kita membiasakan diri dengan kebiasaan orang lain itu.
Menurut Altman & Taylor (1973), level-level tersebut dalam proses intensitas waktunya berbeda-beda tiap orangnya tergantung faktor kepribadian komunikator-komunikate, faktor lingkungan dan faktor sosial-budaya.
1.3 Teori Kebutuhan (need)
Sebagaimana kita ketahui bahwa manusia mempunyai kebutuhan (need) yang dapat merangsang dan mempengaruhi tindakan manusia. Teori need yang kita kenal ialah dari Mc.Clelland dan Murray. Menurut Murray, komunikasi merupakan kebutuhan manusia sebagai cara untuk mencapai (instrumental) keberlangsungan hidup (survive). Apalagi kita sebagai mahluk sosial (social-anima) membutuhkan orang lain untuk bertahan hidup. Contoh, jika kita memerlukan makan maka kita pasti membutuhkan orang lain, baik untuk mengadakan makanan secara langsung maupun menyediakan bahan makanan yang lain. Kebutuhan inilah yang merangsang manusia untuk menyampaikan pesan kepada orang lain bahwa ia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan hidupnya.
1.4 Teori Neurobiologis
Secara faali, manusia mempunyai proses biologis yang mempengaruhi proses komunikasi manusia. Proses itu melibatkan proses yang terjadi di syaraf-syaraf manusia (neuron). Syaraf manusia terdiri dari dendrit, soma dan axon. Dendrit berfungsi sebagai penerima perintah dari otak untuk menyampaikan informasi (transmitter). Kemudian dendrite akan meneruskan perintah kepada soma yang diterimanya namun masih secara mentah (receiver). Selanjutnya informasi ini akan diterjemahkan dan ditanggapi oleh axon sebagai inti syaraf (decoder).
Disamping itu, Richard Dawkins (1976) mempunyai penelitian tentang proses transformasi kultural yang dilakukan oleh daya kognitif kita yang ditentukan oleh memes. Memes inilah yang mempengaruhi DNA manusia sehingga mempunyai sifat-sifat tertentu dalam kepribadiannya. Bahkan kadang kala memes ini berfungsi sebagai kontak radar untuk menentukan evaluasi (dalam proses komunikasi intrapersonal) terhadap orang lain. Sebagai contoh pertanyaan untuk merangsang proses berpikir mengenai keberadaan memes ini ialah “Mengapa kita tidak menyukai suatu makanan tanpa merasakan terlebih dahulu?”
1.5 Summary and Excellent with Morality
Kesimpulannya ialah bahwa kita sudah dapat memulai mempunyai kemampuan komunikasi sejak pre-natal meskipun hanya sebagai komunikate secara pasif saja. Selain itu, proses komunikasi merupakan kebutuhan primer manusia dalam mengembangkan aspek kognitif dan kepribadiannya. Oleh karena itu, selalu bersyukurlah kepada Tuhan terhadap karunia kemampuan komunikasi dengan cara berbicaralah yang membekas kebaikan di hati orang lain.
Rujukan :
Altman & Taylor. 1973. Social Relationship. Dlm. Brehm & Kassin. 1996.Social Psychology. Third Edt. Boston: Houghton Mifflin Co.
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
Dawkin, R. 1976. Theories of Memes. London: Open University.
BUDAYA, BAHASA DAN KOMUNIKASI
1.1 Pendahuluan
Sebagaimana konsistensi kita terhadap pendahuluan selalu diawali dengan sebuah pertanyaan yang akan merangsang proses kognitif kita maka pertanyaan pada bab ini ialah;
“Apa yang terjadi jika kita hidup tanpa budaya dan bahasa?”
“Apa yang terjadi jika kita hidup di zaman batu?
“Apa yang terjadi jika tidak ada Bahasa Indonesia?
Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!
1.2 Aspek Budaya dalam Komunikasi
Dengan kesibukan kita, mungkin kita lupa bersyukur kepada Tuhan bahwa kita diciptakan dalam bentuk dan sifat yang terbaik dibandingkan dengan mahluk yang lain. Perbedaan utama kita dengan mahluk yang lain, ialah kemampuan kita berfikir dan merasakan dengan moral yang jauh lebih tinggi daripada mahluk lainnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Tuhan menitahkan kita sebagai ‘pemimpin’ bagi mahluk yang lain. Hal tersebut bukanlah perkara yang datang begitu saja sebab Tuhan telah memberikan kita kenikmatan kekuatan pemikiran dan perasaan moral tersebut. Kekuatan itulah yang disebut sebagai budaya. Dari asal kata BUDI dan DAYA. Budi bermakna pemikiran/ perasaan sedangkan daya berarti kemampuan. Hal tersebut bermakna bahwa hanya manusialah yang mempunyai kekuatan tersebut untuk membuat kehidupan dirinya dan mahluk yang lain menjadi lebih baik. Hanya manusialah yang mempunyai budaya yang lebih baik dari mahluk lain. Dengan kekuatan tersebut maka manusia diharapkan mampu memimpin alam semesta ini. Tetapi tentu saja, menjadi pemimpin tidaklah mudah sebab kita pasti diminta pertanggungjawaban terhadap semua amal perbuatan kita dalam memimpin, setidaknya memimpin diri kita sendiri. Sudahkah kita mengendalikan diri dalam berkomunikasi?
Asking is thinking yang saya sajikan diatas tentunya berkaitan dengan budaya manusia, terutama dalam proses berkomunikasi. Para sosiolog dan antropolog menyarikan bahwa budaya merupakan proses konvensi atau kesepakatan berdasarkan pemikiran dan perasaan manusia dengan kumpulannya. Termasuk salah satunya ialah kesepakatan bahasa. Perlu ditekankan dalam pemaknaan bahasa di sini bukan saja perihal komunikasi verbal tetapi juga bahasa yang mengarah kepada non verbal. Secara jelas, mungkin kita tetap bisa hidup tanpa budaya dan bahasa, namun tidak sebaik sekarang. Mungkin kita tetap bisa hidup di zaman batu karena budaya dan bahasa yang disepakati pada saat itu lebih sederhana daripada sekarang ini. Namun karena kita telah terbiasa dengan kemajuan budaya dan bahasa kita sehingga kalau sekarang kita diminta kembali ke zaman batu tentunya akan mengalami tekanan (stress). Mengapa stress? Karena terjadi kesenjangan antara harapan kita yang ingin berkomunikasi da berbudaya secara maju namun realitanya kalau kita kembali ke zaman batu, hal tersebut tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, fenomena akan selalu kembali merujuk kepada konteksnya (Albert Camus).
Oleh karena pentingnya budaya dalam proses komunikasi sebagai salah satu determinan atau faktor penentu maka Burgon & Huffner (2002) menjelaskan bahwa budaya merupakan salah satu fondasi utama dalam proses komunikasi. Pernyataan ini mempunyai alas an bahwa budaya merupakan faktor pembentuk adanya bahasa yang disepakati dalam komunitas tertentu. Sekali lagi, perluasan jenis bahasa ini termasuk bahasa verbal dan non verbal. Contoh bahasa yang terbentuk dengan kesepakatan budaya secara verbal ialah Bahasa Indonesia. Sedangkan contoh bahasa yang terbentuk dengan kesepakatan budaya secara non verbal dalam konteks budaya Indonesia ialah ‘anggukan’ yang berarti setuju atau ‘ya’. Mungkin akan berbeda kalau kita melihat dalam konteks budaya lain, seperti ‘anggukan’ di konteks budaya India berarti ‘tidak’ atau ‘nehi’ dan sebaliknya untuk ‘gelengan’ kepala. Sekali lagi semua terikat dalam suatu konteks budaya.
1.3 Aspek Bahasa dalam Komunikasi
Bahasa merupakan simbol yang general dan disepakati oleh suatu komunitas untuk menyampaikan pesan, keinginan dan persepsi (jembatan komunikasi). Jenis bahasa dikategorikan beberapa hal (Wikipedia, 2008):
1. Bahasa : bahasa verbal & non verbal
2. Bahasa : tulis & lisan
3. Bahasa : bahasa resmi & bahasa pergaulan (prokem)
1.3.1 Proses Pembentukan Bahasa
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa budaya merupakan pembentuk bahasa maka bahasa yang terbentuk ini pun sebenarnya juga merupakan kesepakatan atau konvensi yang mengakar budaya pada suatu komunitas yang lebih kecil (mikrosistem). Jika bahasa yang digunakan mikrosistem ini eksis, berkembang dan menyebar maka dapat diterima oleh makrosistem. Sebagai contoh, bahasa Melayu (Riau & Kepulauan Sumatera) yang merupakan dasar pembentukan bahasa Indonesia dapat berkembang karena menjadi lingua francaatau bahasa pergaulan, seperti dalam perdagangan, penaklukan suatu kerajaan (politik), pendidikan dan perkawinan.
Bahasa Melayu sudah lama digunakan dalam budaya Melayu di wilayah Nusantara, antaranya di Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand Selatan (Pattani), Filipina, Vietnam, Kemboja, Kepulauan Pasifik, Sri Lanka, Cape Town, Papua dan Timor Leste. Oleh karena itu, diperkirakan lebih dari 300 juta orang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa kehidupan sehari-hari. Bahkan bahasa Melayu dikenal sebagai bahasa terbesar keempat di dunia setelah bahasa Inggeris, bahasa Mandarin dan bahasa Hindi/ Urdu (Asmah, 1998). Kemudian bahasa Melayu ini berkembang sesuai dengan kondisi sejarah, demografi, pendidikan dan politik di setiap wilayah yang menggunakannya (Zack, 2007).
Dalam bahasa Indonesia sendiri telah mempunyai kesepakatan untuk membakukan bahasa verbal dalam bentuk tulisan (simbol) dan ucapan. Kesepakatan budaya ini yang telah dibakukan dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
1.3.2 Bahasa dalam Lintas Budaya
Kita tidak dapat menafikan bahwa bahasa sangat terpengaruh oleh budaya. Oleh karena zaman globalisasi ini maka memungkinkan budaya saling bersinggungan. Persinggungan dan pertemuan budaya inilah yang memungkinkan manusia memasuki alam lintas budaya. Menurut catatan Burgon & Huffner (2002), beberapa perbedaan bahasa dalam lintas budaya dapat terlihat dari;
a. Perbedaan bahasa non verbal à contoh: ‘anggukan’ dalam konteks budaya Indonesia dengan India, cipika-cipiki (touching) dalam konteks budaya timur dengan barat.
b. Perbedaan intonasi à contoh: intonasi yang meninggi di Jawa Timur akan dirasa ‘mendikte’ oleh orang yang mempunyai orientasi budaya Jawa Tengah atau Yogyakarta.
c. Perbedaan pemaknaan bahasa/ kata à contoh: kata ‘butuh’ dalam konteks budaya Indonesia dimaknai sebagai keperluan dan dalam konteks budaya Malaysia dimaknai sebagai alat kelamin.
d. Perbedaan diksi. Misalnya konteks budaya Jawa Timur cenderung lebih asertif dalam menyampaikan pendapat daripada konteks budaya Jawa Tengah yang cenderung ‘unggah-ungguh’ sehingga diksinya pun berbeda. Contoh: leveling diksi penyebutan ‘kamu’ dalam konteks budaya Jawa Tengah yang berjenjang, yaitu ‘kowe’, ‘sampeyan’, ‘panjenengan’, ‘pangandika’.
1.3.3 Hal-hal yang Berkaitan dengan Penggunaan Bahasa
a. Dalam kaitannya dengan lintas budaya, seseorang dapat mengalamicultural shock jika tidak mampu menyesuaikan diri dalam proses komunikasi lintas budaya. Hal ini merupakan hasil penelitian dari Furnham & Bochner (1986).
b. Komunikasi dengan bahasa non verbal membantu penegasan komunikasi verbal lintas budaya (Hammer, 1989). Hal ini disebabkan karena bahasa non verbal lebih universal daripada bahasa verbal.
c. Dalam era globalisasi ini maka memungkinan terjadinya persinggungan budaya dan bahasa. Bahkan memungkinkan terjadinya ‘penjajahan bahasa’ baik melalui penjajahan fisik, pendidikan/ scholarship, bisnis, agama dan lain sebagainya. Dikatakan sebagai ‘penjajahan bahasa’ karena dalam bahasa itu juga termasuk di dalamnya budaya asal dari bahasa tersebut.
1.4 Excellent with Morality
Menutup bab ini maka petikan moral akan mengangkat dua filosofi terkenal:
“Kuasailah kemajuan suatu bangsa melalui budaya dan bahasanya”
“Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”
Pemaknaannya:
Kedua filosofi tersebut menyiratkan kepada kita mengenai penyesuaian diri atau kemampuan adaptasi kita terhadap suatu budaya dan bahasa. Bahkan kita dapat menguasai atau setidaknya mencontoh kemajuan suatu bangsa jika kita menguasai budaya dan bahasa. Tentu saja, tanpa harus melunturkan nilai-nilai positif budaya kita sendiri.
Rujukan :
Arbak Othman. 1994. Kamus bahasa Melayu. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn.Bhd.
Asmah Haji Omar. 1998. Setia dan santun bahasa. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Budiyono. 2005. Kamus lengkap bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit Bina Ilmu.
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
Zack, A. 2007. Perbincangan: Bahasa Melayu. http://ms.wikipedia.org/wiki/Perbincangan:Bahasa_Melayu [8 Februari 2008].
PSIKOLOGI KOMUNIKASI;
SEBUAH PERLUASAN MAKNA
Muhammad Ghazali Bagus Ani Putra
Staf Pengajar Fakultas Psikologi Unair
1.1 Pendahuluan
Setiap bab dalam buku ajar ini akan diawali dengan sebuah atau beberapa pertanyaan. Kenapa kita mesti bertanya? Menurut filusuf terkenal yang bernama Aristotle, bertanya sesungguhnya ialah proses berfikir karena dengan bertanya tentunya kita mempunyai keinginan untuk mengetahui jawabannya. Oleh karena itu, Aristotle menyatakan bahwa asking is thinking. Oleh karena itu, memulai sebuah pemerhatian kita terhadap suatu fenonema, dalam hal ini fenomena psikologi komunikasi, maka alangkah baiknya kalau kita memulai dengan suatu pertanyaan. Pada pendahuluan bab ini maka pertanyaannya ialah;
“Pernahkan sepanjang hidup Anda, tidak berkomunikasi sehari saja?”
Pertanyaan itu sebaiknya Anda tanyakan terlebih dahulu dalam diri Anda, renungkan, fikirkan dan jawablah! Setelah itu diskusikan jawaban tersebut dengan teman Anda!
1.2 Perluasan Makna Komunikasi
Pertanyaan tersebut tentunya akan memancing berbagai versi jawaban kita, berbagai versi pula jawaban orang lain, baik terhadap jawaban mereka sendiri atau tanggapan mereka terhadap jawaban kita. Jika Anda menjawab bahwa Anda pernah tidak berkomunikasi meski hanya sekejap saja maka rupanya makna komunikasi yang Anda fahami haruslah diperluaskan dulu. Beberapa dari Anda akan menjawab bahwa Anda pernah tidak berkomunikasi saat tidur, atau Anda pernah tidak berkomunikasi saat merenung, Anda pernah tidak berkomunikasi saat sendiri, Anda pernah tidak berkomunikasi saat berdoa atau beribadah. Jawaban-jawaban tersebut tidaklah salah karena pemaknaan komunikasi Anda belum diperluas. Selain itu, pendapat para pakar komunikasi pun juga terbelenggu pada satu perspektif, yaitu perspektif orang lain (others / social). Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa pakar ini yang dimuat dalam Burgon & Huffner (2002);
a. Hovland, Janis and Kelly state that communication is the process by which an individual (the communicator) transmits stimuli (usually verbal) to modify the behavior of other individual (the audience).
Berdasarkan pernyataan mereka maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi merupakan proses seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus/ rangsangan (biasanya dalam bentuk verbal) untuk memodifikasi perilaku orang lain (audience/ komunikate). Dengan demikian, proses komunikasi memerlukan rangsang untuk disampaikan dan memerlukan orang lain sebagai penerima rangsang tersebut. Dalam pemaknaan ini komunikasi lebih mengarah kepada bentuk verbal atau penggunaan simbol bahasa.
b. Whereas, Ross state that communication is a transactional process involving cognitive sorting, selecting, and sharing of symbol in such a way as to help another elicit from their own experiences a meaning or responses similar to that intended by the source.
Merujuk pendapat beliau, komunikasi merupakan proses transaksional antara satu orang dengan orang lain yang meliputi proses urutan kognitif, seleksi informasi dan penyampaian simbol berdasarkan pengamalan mereka sendiri sebagai suatu pemaknaan atau respon yang sama dengan pemaknaan dari sumbernya. Dengan demikian, pemaknaan ini lebih mengarah kepada proses dalam diri manusia (komunikator) yang lebih pada ranah kognitif dan pada orang lain yang menyamakan dengan pengalaman dari sumber (komunikator). Proses penyamaan ini yang nanti akan dibahas pada bab selanjutnya, yaitu tentang derajad homophily.
c. Atau pendapat lain dari Beamer & Varner (2008) dalamCommunication Studies Journal bahwa komunikasi ialah suatu proses penyampaian pendapat, pikiran dan perasaan kepada orang lain yang kemampuannya dipengaruhi oleh lingkungan atau budaya sosialnya. Jelas bahwa lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap proses komunikasi seseorang.
Ketiga pendapat tersebut mengarahkan semua pemaknaan komunikasi sebagai sebuah proses yang memerlukan orang lain (others / social). Oleh karena itu, Burgon & Huffner (2002) dalam bukunya Human Communication menjelaskan bahwa komunikasi ialah sebuah proses pemikiran berupa seleksi informasi (kognitif), menilai atau mempersepsikan pengalaman (afektif) dan bertindak balas terhadap informasi yang disampaikan tersebut (psikomotorik). Proses komunikasi ini dapat dilakukan dalam diri manusia sendiri, orang lain dan kumpulan manusia dalam proses sosial (massa). Merujuk pendapat tersebut maka Burgon & Huffner (2002) mengkategorikan 3 jenis komunikasi, yaitu;
a. Komunikasi intrapersonal; komunikasi yang terjadi dalam diri sendiri maka tindak balas yang dilakukan ialah dalam internal diri sendiri. Contoh, komunikasi yang terjadi saat kita merenung, berdialog dengan diri sendiri (baik sadar maupun secara tidak sadar, misalnya sedang tidur).
b. Komunikasi interpersonal; komunikasi yang dilakukan dengan orang lain sehingga tindak balas dan evaluasinya memerlukan orang lain. Contoh, komunikasi dengan pacar, teman, dosen, orang tua dan lain sebagainya.
c. Komunikasi massa; komunikasi yang dilakukan dalam kumpulan manusia yang terjadi proses sosial di dalamnya, baik melalui media atau langsung dan bersifat one way communication. Contoh, komunikasi yang terjadi di televisi, web-site, blog, iklan dan lain sebagainya. Pembahasan komunikasi massa akan didiskusikan pada bab-bab selanjutnya.
1.3 Ruang Lingkup Kajian Psikologi Komunikasi
Berdasarkan pemaknaan dan perluasan makna komunikasi itu maka ruang lingkup kajian Psikologi Komunikasi itu antaranya:
a. Kognitif, yaitu terdapat proses memori dan seleksi informasi, baik dalam keadaan sadar maupun tidak sadar. Hal ini sebagaimana telah dibahas sebelumnya dengan contoh, komunikasi biasa yang sadar dan tidak sadar (tidur atau semi trance)
b. Afeksi, yaitu terdapat proses evaluasi dan penilaian terhadap pengalaman, stimulus (verbal dan non verbal) yang disampaikan oleh komunikator terhadap komunikate.
c. Perilaku, yaitu dengan proses evalusi tersebut maka orang lain dapat melakukan prediksi pola perilaku komunikasi seseorang dan dapat melakukan kontrol terhadap perilaku komunikasi dirinya sendiri. Contoh, jika seorang teman kita mempunyai pola komunikasi yang agresif maka kita bias melakukan antisipasi dalam pergaulan dengan dirinya.
d. Mekanisme penyesuaian diri, yaitu metode-metode yang digunakan dalam proses komunikasi dalam ketiga jenis komunikasi tersebut. Metode tersebut antaranya sosialisasi, permainan peran, identifikasi, proyeksi, agresi dan lain sebagainya.
Dengan mengamati ruang lingkup komunikasi tersebut tentunya erat kaitannya ilmu komunikasi itu dengan psikologi yang mempunyai ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
1.4 Excellent with Morality
Selaras dengan misi Universitas Airlangga yang menyatakan kesempurnaan ilmu berbasis moral (excellent with morality) maka dalam setiap akhir bab dalam buku ajar ini akan diberikan petikan hikmah yang berkaitan dengan psikologi komunikasi.
“Lidah lebih tajam daripada sebilah pedang, maka asahlah ia agar lebih berguna daripada sebilah pisau.”
Pemaknaannya:
Dalam kondisi yang normal, aman dan damai seperti sekarang ini maka pisau lebih bermanfaat daripada sebilah pedang. Oleh karena itu, kita diminta untuk melatih kemampuan komunikasi kita agar bermanfaat seperti sebilah pisau yang dapat digunakan dalam berbagai hal. Sedangkan kita perlu berhati-hati dengan ketajaman lidah kita karena dengan komunikasi baik buruk hati seseorang dapat diketahui, dengan komunikasi tingkat intelektual kita dapat diketahui oleh orang lain dan dengan komunikasi pula jalinan silaturahmi dapat baik atau retak.
Rujukan :
Burgon & Huffner. 2002. Human Communication. London: Sage Publication.
Catatan :
Demi perkembangan ilmu pengetahuan maka dipersilahkan untuk mengutip sebagian dari informasi ini dengan mencantumkan sumbernya.